Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu
tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang (QS. Annahl, 16:18).
Nikmat-nikmat
yang telah diturunkan Allah kepada kita sangatlah banyak. Semakin kita
menghitung nikmat maka semakin tampak nikmat-nikmat yang telah kita peroleh
dari-Nya. Semakin kita menghitungnya maka semakin tidak mampu pula kita
menghitungnya.
Nikmat
dari Allah yang kita sadari seperti gunung es dipermukaan laut dimana yang
dapat kita lihat adalah puncaknya saja, padahal yang tidak kita sadari jauh
lebih banyak.
Alasan
Sibuk
Seseorang
kesulitan menghitung nikmat Allah dengan alasan ia mempunyai kesibukan, padahal
“kesibukan” seperti itu bukanlah kesibukan yang sebenarnya, kesibukan seperti
itu dinamakan sebagai “kelalaian.” Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa ia
“sibuk” sehingga tidak bisa merenungi nikmat Allah, maka ketahuilah bahwa orang
itu bukan orang sibuk melalaikan orang lalai.
Ia
dilalaikan dunia, nafsunya sedang mengawang-awang, sehingga tak sempat
merenungi nikmat. Bukankah orang seperti itu yang melupakan nikmat? Bukankah
orang yang seperti itu yang mengatakan bahwa dirinya belum pernah menerima
nikmat dari Allah? Ia mengatakan bahwa Allah lebih banyak member kesulitan
daripada lapang? Demikianlah nafsu seringkali memutar-balikan fakta dan
menumpulkan akal.
Ketahuilah,
bukan kesibukan yang membuat kita tak dapat mengingat nikmat, melainkan
“kelalaian akibat nafsu” yang menghalangi kita menghitung nikmat.
Padahal
hanya dengan mensyukuri nikmat yang membuat nikmat bertambah. Semakin banyak
kita menyebut nikmat maka akan semakin bertambah nikmat itu datang kepada kita.
Besar-Kecilnya
Nikmat Harus Kita Syukuri
Orang
hebat adalah orang yang tahu darimana rezeki itu datang. Orang hebat adalah ia
yang tahu bahwa rezeki itu datangnya dari Allah kemudian ia mensyukuri
nikmat-nikmat tersebut, baik nikmat itu besar maupun kecil. Bukan besar
kecilnya rezeki yang kita pandang, namun siapa yang memberi rezeki itulah yang
kita pandang.
Ada
perumpamaan, seseorang menerima baju dari raja, padahal baju itu kualitasnya
biasa saja, namun orang itu memajangnya di ruang tamu, membingkainya laksana
membingkai emas berlian. Ia pun berkata kepada orang-orang bahwa baju yang
dipajang adalah pemberian dari sang raja. Kenapa hal ini terjadi? Sebab yang
dia pandang bukanlah harga baju yang murah namun siapa yang telah memberi baju
tersebut. Kedudukan seorang raja telah menaikkan kedudukan baju tersebut dari
semula baju biasa menjadi baju istimewa. Andai saja raja tahu tentang sikap
rakyatnya seperti itu, tentu sang raja akan member hadiah yang lebih baik
daripada itu.
Demikian
sebuah perumpamaan. Jika demikian maka terlebih lagi suatu rezeki yang
diberikan Allah SWT sebagai Raja alam semesta. Maka kita harus mensyukuri
setiap rezeki yang datang kepada kita, apapun jenis rezekinya, sebab kita
memandang bukan kepada rezekinya namun siapa yang telah memberi rezeki
tersebut.
Di dalam Kitab
Nasha-ihul Ibad yang ditulis oleh Syeikh
Ibnu Hajar Al-Asqalani, disebutkan bahwa Allah SWT telah mewahyukan kepada Nabi Uzair sebagai berikut: “Apabila kamu memperoleh kebaikan yang
sedikit maka jangan lihat kecilnya kebaikan, tetapi lihatlah Zat yang telah
memberi rezeki kepadamu. Dan apabila musibah menimpamu, jangan Engkau ceritakan
kejelekan-Ku kepada makhluk-Ku sebagaimana Aku tidak pernah menceritakan
kejelekanmu kepada malaikat-malaikat-Ku ketika catatan kejelekanmu dilaporkan
kepada-Ku.
Bersyukur kepada Allah
Siapa
saja yang telah memberi kebaikan kepada kita maka akan muncul sikap kepatuhan
kita kepadanya. Semakin banyak kita memperoleh kebaikan dari seseorang maka
akan semakin tinggi pula penghormatan kita kepadanya.
Allah
SWT telah memberi banyak kebaikan kepada kita, oleh sebab itu hanya
kepadaNya-lah kita menyembah, memuja, dan mematuhi semua perintah-Nya.
Adapun
kepada makhluk kita harus sering membantu, banyak berderma, dan selalu peduli.
Allah SWT berfirman: “Berbuat-baiklah
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kalian.”
Nikmat
yang telah Allah berikan maka kita perlu memberikan nikmat itu (seluruhnya atau
sebagiannya) kepada orang lain. Sikap seperti itu akan membuat kedudukan kita
di bumi semakin berkah dan kuat.
Sayidina Ali bin
Abi Thalib berkata: Silahkan Engkau berbuat baik kepada orang yang
engkau kehendaki maka engkau akan menjadi rajanya. Dan memintalah kepada orang
yang dikehendaki tentu engkau jadi budaknya. Cukupkanlah dengan apa yang ada
padamu (tidak meminta kepada orang), tentu
engkau jadi orang yang dipandang kaya seperti dia.”
Hari
Anda yang Beruntung
Banyak
orang berkata bahwa hari keberuntungan merupakan hari yang amat jarang. Hari
keberuntungan hanya datang kepada orang tertentu saja. Hari keberuntungan ada
waktunya, sulit, dan tidak dapat diwujudkan oleh diri sendiri.
Ungkapan
orang seperti itu tidak sepenuhnya benar, sebab ternyata hari keberuntungan
sangat mudah, dapat terjadi kapan saja, setiap orang dapat melaksanakannya, dan
yang menentukan adalah diri sendiri.
Hari
keberuntungan adalah hari dimana seseorang mengisi hari tersebut dengan iman.
Sikap yang dapat menumbuhkan iman adalah syukur atas nikmat, sabar terhadap
musibah, dan senang (ridha) terhadap ketetapan Allah sehingga Allah pun senang
(ridha) kepada orang tersebut.
Jika
anda mampu mengisi hari dengan amalan di atas maka anda memperoleh banyak point
pada hari tersebut sehingga hari tersebut sebagai hari yang berkualitas.
Syeikh Ibnu Hajar
Al-Asqalani meriwayatkan bahwa suatu hari Nabi Saw menemui
sahabat-sahabatnya, kemudian Nabi bertanya: “Bagaimana keadaanmu di waktu
pagi?” Mereka menjawab: “Kami dalam keadaan iman kepada Allah.” Lalu Nabi
bersabda: “Apakah tanda-tanda keimananmu?” Mereka menjawab: “Kami sabar
terhadap musibah, bersyukur atas nikmat, dan senang terhadap ketetapan Allah
(Qadha).” Selanjutnya Nabi bersabda: “Kalau begitu kalian benar-benar termasuk
orang mukmin yang sebenar-benarnya, demi Allah yang memelihara Ka’bah.”
1. Sabar Terhadap Musibah
Saat
musibah tiba, hati kita terasa ciut, bumi terasa sempit, dan diri terasa lemah
selemah-lemahnya. Sikap sabar adalah sikap “menahan diri” dari hal-hal yang
tidak disukai Allah, seperti putus asa, bunuh diri, mencuri, atau membunuh.
Orang sabar adalah orang tekun, ulet, dan gigih di dalam menjalankan perintah
Allah SWT.
2. Bersyukur Atas Nikmat
Saat
nikmat datang maka kita harus bersyukur. Bersyukur adalah tasaruf (mempergunakan) nikmat Allah ke jalan yang diridhai Allah.
Apabila Allah memberi kekayaan maka ia sedekah dengan kekayaannya; apabila
Allah memberikan rezeki berupa ilmu maka ia sedekahkan ilmunya; dan sebagainya.
3. Senang dengan Ketetapan Allah
Semua
ketetapan Allah maka harus kita terima dengan hati senang (ridha). Barangsiapa
yang senang dengan segala ketetapan Allah maka Allah akan senang kepada orang
tersebut. Orang itu ridha maka Allah pun ridha kepada orang tersebut.
Penutup
Sikap
syukur merupakan sikap yang istimewa. Banyak manfaat yang dapat kita ambil dari
sikap syukur. Semakin kita gali hikmahnya maka semakin terlihat keistimewaan
syukur. Semoga Allah masukkan kita ke dalam golongan orang yang bersyukur. Amin ya Mujiba Sa-ilin.
ý
Dudi Akasyah Ihsan
MAJLISUL ILMI
“SAKINAH”
|
Jakarta, Vila Gading Indah,
Senin, 03 Desember 2012 M / 16 Muharram 1434 H
syukur membuat kita bahagia yaa
BalasHapus